Sabtu, Februari 28, 2009

SPEED READING-BAGAIMANA MEMBACA CEPAT


Sekarang ini kita hidup diera yang serba instant, cepat dan teknologi maju. Tolok ukur keahlian dan potensi diri seseorang sangat bergantung pada kemampuan membaca yang cepat dan efektif.
Karena itu, membaca ceat tidak bertentangan dengan penguasaan materi seperti yang sudah sangat populer di tengah-tengah kita. Seseorang pembaca biasa akan menghabiskan waktu yang cuku lama hanya karena bacanya yang masih lambat.
Padahal, sebenarnya hal itu tidaklah diperlukan. Seorang pelajar sekolah menegah atau seorang mahasiswa bisa memercepat ersentase bacanya hingga 20%-25%, dan itu tidak mempengaruhi kemampuannya untuk memahami bacaan.
Disisi lain, membaca cepat memang telah menjadi tuntutan hidup kita sekarang, serta hal itu akan memberikan cukup banyak waktu yang tersisa untuk kita.
Dalam hal ini hanya dengan sedikit usaha keras anda dapat mendapatkan kecepatan membaca anda.
Kiat membaca cepat :



1. Paksa diri membaca dengan cepat
2. Bacalah ungkapan dan kalimat-kalimat yang ada dalam buku, jangan membaca kata-katanya.
3. bacalah dengan melompat-lompat dan berilah tanda khusus ada topik yang penting.
4. ujilah diri anda setiap saat untuk mengetahui sejauh mana erkembangan dan kemajuan kecepatan membaca anda. Caranya adalah dengan menghitung jumlaah kata-kata yang bisa anda baca dalam satu menit.
5. Lepaskan dirimu dari hiruk ikuk, keributan atau hal lain yang bisa membuyarkan konsentrasi ini
6. Hindari membaca dengan suara keras ataupun hanya dengan menggerakkan-gerakkan mulut anda
7. Konsentrasi penuh dan berinteraksi dengan khayalan dalma ide dan topik yang disajikan dlam buku yang anda baca.
8. Ketika anda sedang membaca duduklah dengan benar dan rileks, tetapi tidak berarti terlalu santai.
9. Memilih waktu yang sesuai dengan jenis bacaan yang akan dibaca. Misalnya : untuk buku bacaan yang berat bersifat wawasan, akademis, mata pelajaran dan semisalnya maka perlu keriusan dan kesungguhan lebih. Waktunya adalah pagi hari, jauh dari kebisisngan dan keributan, serta di tempat yang kondusif dan pencahayaan yang tepat.

Diambil dari buku Spiritual Reading .:I karya Dr. Raghib As-Sirjani dan Amir Al-Madari I:.
Writed by HNS

Rabu, Februari 25, 2009


Beberapa waktu lalu tepatnya pada hari kamis tanggal 5 Februari 2009, serombongan insan bertandang ke sebuah rest area di sebuah tempat wisata Klaten. Kami adalah serombongan orang yang sedang menimba ilmu di sebuah institusi proyek milik AMCF (Asian Muslim Commitey Foundation). Kurang lebih 30 an orang, namun yang ikut saat rihlah ba’da ujian akhir semester ini sekitar 19 orang, yang lain dikarenakan ada kendala dan lain hal.

Kegiatan disana selain lomba renang, ada lomba makan lele…lomba foto2 dan lain….silakan lihat.
Ada Tholib tertua yaitu Syekh Sanu Gunawan, ada tholib mahirun Arif, tapi sayangnya nama arif ada beberapa disini. Ada Sang “Mujahid kesiangan” : Sahabat Sholeh, Fahri sang melankolis, Azis sang Orator, dan lain-lain yang unik-unik

Asbabun Najah (sebab-sebab Kemenangan)


Kemenangan dalam Islam itu Pasti

Sunnah tadawwun : kemengan yang digilir

Kemengan ada 3 :

  1. Kemenangan dari Allah : bantuan dari Allah
  2. Kemenangan untuk Allah : bukan untuk pribadi, golongan ataupun hizbi
  3. kemenangan menurut Allah : persepsi kemenangan bukan dari diri kita melainkan dari versi Allah

Kunci kemenangan adalah Jiddiyah : Kesungguhan terhadap apa yang dilakukan serta melaksanakan aspek berikut ini :



1. Rukhaniyah ’Aliyah : ruhiyah yang tinggi
Maka kita diperintahkan untuk ”Qum” (Al-Muzammil:2)
    
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit (daripadanya),

[1525] sembahyang malam Ini mula-mula wajib, sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini. setelah Turunnya ayat ke 20 Ini hukumnya menjadi sunat.

2. Rukhul mas’uliyah : semangat untuk bertanggung jawab
”Beban ini bukan dibebankan kecuali untukmu”
”la tukallifu illa nafsaka”
ini adalah celah amal : hisab kita adalah sendiri-sendiri (nafsi-nafsi) tidak ada hisab secara berjamaah ataupun kolektif. Setiap kita beramal akan bermanfaat untuk sendiri saat nanti dihisab nanti. Sebanyak apa amal kita maka sebanyak itulah pula hasil yang mengikutinya.
3. Rukhut Tanaffus : berlomba dalam kebaikan
Kisah Umar dan Abu Bakar tentang banyaknya infaq. Dikisahkan bahwasannya ketika Umar memberikan separuh dari kekayaannya maka Abu Bakar ra memberikan seluruh kekayaannya untuk dakwah Islam.
4. Tashir Al imkaniyah : optimalisasi seluruh kemampuan
5. Mengatasi masalah udzur
Para sahabat dan pengikutnya senantiasa berusaha untuk tidak udzur sebagaimana waktu hendak perang Hunain ada sebagian sehabat yang hendak ikut akan tetapi mereka tiada bekal sedikitpun, kemudian meminta kepada Rasul agar diberikan kuda dan perbekalannya. Maka pahala niat mereka telah sama dengan yang telah ikut berperang.
6. Tamayuz fil ’ada : mengerjakan dengan berbeda dari yang lain/lebih baik
Kisah Abu Bakar di suatu pagi ditanyakan oleh Rasulullah saw. Siapakah diantara kalian yang sudah bersedekah hari ini, ta’ziah, menjenguk orang sakit, berinfaq? Semua diam dan hanya Abu Bakar yang bersuara ”saya ya Rasulullah” auw kama qola (alhadist)

Demamlah ketika engkau tidak berdakwah : hummum (ustad Hatta Samsudin, Lc)
Terkadang untuk melakukan sesuatu dengan optimal kita harus disuruh oleh orang lain, atau diberikan amanah, atau diberi perintah sesuatu. Tidak semua dari kita tahu akan dirinya masing-masing (Ust. Bambang)
”Barang siapa dia tidak bisa dipacu oleh amal maka dia tidak akan dipacu oleh nasab”
maksudnya : ketika untuk melakukan sesuatu amal kita merasa berat, ogah-ogahan maka jangan berharap nasab (keturunan, golongan, grup) kita akan memacunya. Karena nasab tidak menyebabkan kita menjadi lebih baik jika kita sendiri tidak melaksanakannya dengan baik.

”Hayya bina’a nukmin sa’ah” = ”untuk memunculkan sesuatu diperlukan waktu”

MABIT SARKLI di Masjid Agung Surakarta, 29 Februari 2008

Kamis, Februari 19, 2009

PENYEBAB KEMUJURAN DAN KESIALAN


Dari sebuah hadist yang berbunyi “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda :”tiga perkara yang menyelamatkan :Takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun terbuka, mengatakan yang benar saat suka maupun marah dan irit saat lapang mapun sempit, adapun tiga perkara yang mencelakakan : hawa nafsu yang dikktui, kikir yang ditaati dan ujub seseorang kepada diri sendiri, dan ini yang paling berat (HR Baihaqi)

Kebaikan dan keburukan, untung dan sial akan selalu bergulir sepanjang hidup manusia, Rasulullah saw menjelaskan perkara yang dapat mendatangkan keuntungan, sebagaimana beliau menjelaskan hadist ini hal-hal yang dapat mencelakakan pelakunya dalam kebinasaan.

Adapun yang mendatangkan keuntungan

pertama adalah

takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun dilihat orang. Takut ini berawal dari rasa malu berbuat dosa dan pengetahuan seseorang bahwa Allah selalau mengawasi semua perilaku manusia lahir maupun bathin. Abu Dzar berkata, “Rasulullah saw suatu ketika membaca ayat, “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah maka Dia akan memberikan baginya jalan keluar”, lalu Beliau bersabda “Wahai Abu Dzar, bila seluruh manusia mengambil (mengamalkan) ayat ini, maka cukuplah bagi mereka”.
Diantara doa yang beliau saw baca adalah “Ya Allah, aku mohon kepadaMu rasa takut kepadaMu dalam keadaan sepi dan disaksikan orang” (Jamiulum walhikam)
Kedua, berkata benar saat suka maupun marah. Maksudnya, berlaku adil dalam setiap kondisi. Almunawi dalam Faidlul Qodir berkata, “Jiwa seorang mukmin yang sempurna selalu merasa tenang dangan kejujuran, karena di dalamnya ada keselamatan dan tidak nyaman serta ragu untuk berbuat dusta. Keraguanmu pada suatu hal adalah sebuah sinyal adanya posisi yang benar, maka majulah”.
Imam Qurtubi berkata, “Adil adalah timbangan Allah di muka bumi, dengannya hak orang yang teraniaya diambilkan dari orang yang berbuat dholim, dan untuk yang lemah dari yang kuat.
Ketiga, hemat saat longgar maupun sempit. Ekonomis dalam membelanjakan harta dalam semua kondisi. Allah Berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’ 26-27).
Ibnu ‘Asyur berkata, “Menafkahkan harta dalam kebatilan adalah tabdzir meskipun sedikit, dalam perkara mubah dikatakan tabdzir bila melampaui batasm dan tidakada istilah tabdzir dalam urusan amal kebaikan (at tahrir wattanwir)
Demikianlah tiga perkara yang menyelamatkan, sekarang akan diperlihatkan tiga hal yang mencelakakan dan mendatangkan kesialan :
Pertama, hawa nafsu yang diikuti, sebagaimana firman Allah, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nagsunya sebagai tuhan”. (QS Al Furqon 43). Hawa nafsu dijadikan sebagai komandannya, dimana ia tidak berbuat dan memilih kecuali dengan nafsunya, jadilah nafsu sebagai Tuhan. Qatadah berkata tentang maksud ayat tersebut, yakni orang yang bila ingin sesuatu ia turuti, bila ia berselera pada satu hal ia lakukan, tiada ketakwaan dan waro’ yang menghalanginya.
Nabi saw mensifati cirri orang yang cerdas dengan sabdanya, “Orang yang kayyis (cerdas) adalah orang yang menguasai nafsunya dan selalu beramal untuk (persiapan) sesudah mati”. (HR Ahmad, Timidzi dan Ibnu Majah)
Kedua, (mental) kikir yand ditaati. ”Syuhh” dalam bahasa arab serarti bakhil terhadap harta, juga kadang berarti sifat tamak seseorang untuk memperoleh haknya secara penuh, dan jarang mau bertoleransi. Ibnu Atsir berkata, “Kikir yang ditaati yakni : ditaati oleh pemiliknya, hingga ia menolak untuk melaksanakan kewajiban Allah dan urusan materi”.
Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menfakahkan sebagian harta yang kamu cointai.” (QS Ali Imran 92). Ibnu ‘Asyur menafsirkannya, “Menafkahkan sebagian harta adalah tanda sifat pemurah lillah, dengan itulah jiwa disucikan dari sifat kikir. Sebagaimana firman Allah yang lain, “Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS Al-Hasyr 9). Ketiga, Ujub pada diri sendiri. Ujub kata imam Qurthubi, menilai diri sendiri denga kesempurnaan dan sanjungan, dengan melupakan nikmat Allah yang diberikan, bila disertai mengejek yang lain disebut “kibir”.
Termasuk dalam hal ini adalah sombong diri karena merasa tidak pernah berdosa, senantiasa bersih, atau ujub dengan ibadah yang telah dilakukan. Mathraf berkata, “Sungguh bila aku bangun tidur semalam dan dipaginya aku menyesal, itu lebih baik dari pada bila aku bangun shalat malam dan paginya aku merasa ujub”. Na’udzubillahimindzalik. Wallau’alam…
Artikel oleh Ust. Yunan Abduh, Lc disarikan ulang oleh Habib ns

Sabtu, Februari 14, 2009

ketika Kecil



Ketika kecil,
Ketika kecil, saya senang sekali mendengarkan orang-orang berpidato atau ceramah di tempat-tempat pengajian. Sampai suatu saat terbersit keinginan ingin seperti mereka yang pandai bicara.
Atau bahkan dulu saya sering terkagum-kagum jika pada saat menjelang pemilu para juru kampanye yang mewakili partainya masing-masing begitu semangat membakar hati massa. Atau saya juga sangat sering terpukau dengan para politikus yang sedang berbicara atau berdiskusi di layar televisi. Yang ada dalam benak saya adalah bahwa mereka termasuk orang-orang hebat.
Akhirnya saya terbuai untuk

belajar bagaimana caranya berbicara di depan orang banyak. Baik lewat buku-buku ataupun mengikuti cara guru-guru saya ketika ngaji sore hari di surau kampung saya. Sebab ada pelajaran pidato.
Seiring dengan perjalanan waktu dan seringnya ikut berkumpul dengan teman-teman di lingkungan kampung, maka saya makin terbiasa untuk ngomong di depan orang banyak, walaupun -tentu saja- tak sepandai seperti para tokoh yang saya sebut di atas.
Akhirnya saya menjadi terbiasa sering ngomong berbagai macam hal di lingkungan tempat tinggal saya. Pada saat sudah tak ada masalah lagi dalam hal bicara di depan forum, tiba-tiba saya dihantui perasaan sangat khawatir. Tak hanya khawatir, bahkan sering dihantui ketakutan.
Sampai beberapa lama saya malah sangat malas jika diberi mandat untuk sekedar berbicara di depan umum. Apalagi berkaitan dengan memberi pelajaran kepada orang lain. Sebagai contoh, memberi materi kuliah subuh di masjid. Walaupun pada akhirnya tetap saya kebagian untuk bicara juga. Karena tidak ada yang lain.
Bagi saya hal ini merupakan tugas yang sangat berat. Kalau sekedar ngomong, berpidato, orasi, itu sesuatu hal yang mudah. Tapi tanggung jawab di balik kata-kata itu adalah sesuatu yang tidak gampang.
Hasan Basri, sorang ulama shalafussaleh yang terkenal hati-hati dan zuhud, beberapa kali menunda, bahkan menolak membahas suatu hal dalam sebuah kajian keilmuan, bukan karena alasan apa-apa, tapi lebih karena ia sendiri belum pernah melaksanakan hal-hal yang akan diterangkan kepada umat.
Lantas bagaimana dengan saya? Sudahkan saya melaksanakan shalat malam pada saat saya membacakan hadits tentang qiamullail? Sudahkah saya bersedekah, sementara saya sering membacakan nash tentang itu kepada orang lain?
Saya tentu saja bukanlah Hasan Basri si ulama wara’ itu, tapi melihat ke-hati-hati-an beliau dalam membuat “sepatah kata menjadi sepetak surga”, memang perlu ditiru. Dan rupanya bukanlah sesuatu hal yang mudah. Walaupun itu juga tak selamanya menjadi sebuah kesulitan.
Karena kita semua memang sudah paham, bahwa bagi orang mu’min, antara kata dan perbuatan haruslah sama. Tidak boleh seperti orang-orang munafik, yang antara kata dan perbuatan selalu tidak sama. Wallahua’lam.