Kamis, Mei 21, 2009

Tipe-tipe Bawahan


Sekarang ini kita lihat di mana-mana terjadi PHK. Tidak cuma karyawan biasa, manajer pun banyak yang jadi korban. Dengan jumlah individu yang semakin sedikit, seorang atasan kini harus rela untuk tidak memiliki bawahan sebanyak dulu. Kondisi tersebut membuat semakin tingginya ketergantungan atasan pada bawahan. Atasan menjadi sangat berkepentingan terhadap kinerja bawahan. Yang menjadi perhatian atasan bukanlah sekedar kinerja bawahan pada saat ini melainkan lebih kepada bagaimana memperbaiki kinerja bawahan secara terus menerus (continuous improvement). Keberhasilan upaya perbaikan kinerja yang berkesinambungan tersebut sangat dipengaruhi oleh akurasi sikap atasan terhadap kinerja bawahan di masa lalu.
Akurat tidaknya sikap atasan tidak terlepas dari ketepatan persepsinya terhadap faktor-faktor penentu kinerja bawahan. Persepsi yang kurang tepat dapat mengakibatkan sikap atasan yang keliru dalam menindaklanjuti kinerja bawahan. Sikap demikian jelas mempersulit upaya perbaikan kinerja bawahan. Mengacu pada teori atribusinya Harold Kelley (1973), faktor-faktor penentu kinerja bawahan dapat bersifat internal (kemampuan kerja) dan eksternal (pekerjaan dan lingkungan kerja). Agar relatif akurat, Kelley menyarankan agar atasan menggunakan tiga dimensi untuk membedakan keduanya: consensus (membandingkan kinerja seorang bawahan dengan kinerja rekan-rekan kerjanya yang memiliki tugas dan tanggung jawab sejenis), distinctiveness (membandingkan kinerja seorang bawahan pada satu tugas dengan tugas yang lain), dan consistency (membandingkan kinerja seorang bawahan pada suatu periode tertentu dengan periode yang lain).
Atasan akan mempersepsikan kinerja bawahannya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal apabila ia menemukan tingkat consensus yang tinggi (bawahan tersebut memiliki kinerja serupa dengan kinerja rekan-rekan kerjanya yang memiliki tugas dan tanggung jawab sejenis), tingkat distinctiveness yang tinggi (kinerja bawahan tersebut tidak sama untuk satu tugas dengan tugas yang lain), dan tingkat consistency yang rendah (kinerja bawahan tersebut tidak sama pada suatu periode tertentu dengan periode yang lain).
Menghadapi kenyataan dominannya faktor-faktor eksternal, atasan perlu mengambil sikap untuk menelaah uraian tugas (job description) bawahan sebagai langkah awal upaya memperbaiki kinerjanya. Seperti diketahui, uraian tugas tidak saja mencakup apa-apa yang perlu dikerjakan oleh dan menjadi tanggung jawab bawahan tetapi juga mencakup hubungan kerjanya dengan individu-individu lain dan gambaran kondisi tempat kerjanya. Tujuan penelaahan adalah untuk mencari tahu apakah ada ketidakjelasan pada uraian tugas, apakah ada individu-individu yang memiliki kaitan kerja erat dengan seorang bawahan yang tidak menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik sehingga berdampak negatif pada kinerja bawahan tersebut, dan apakah ada yang tidak beres pada tempat kerjanya (misalnya: ruang kerja yang pengap, komputer yang sudah ketinggalan jaman, lingkungan sekitar ruang kerja yang gaduh dan lain-lain).

Hal kedua yang perlu ditelaah adalah kredibilitas atasan di mata bawahan. Tanpa kredibilitas, sulit kiranya bawahan tergerak untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. James Kouzes dan Bary Posner (1993) menyebutkan empat penentu kredibilitas atasan: kejujuran, kompetensi atau kemampuan kerja termasuk kemampuan memberikan arahan, bantuan dan bimbingan kepada bawahan dalam penyelesaian tugas-tugasnya dengan memperhatikan segala keterbatasan yang ada, inspirasi atau kemampuan untuk membangkitkan antusiasme kerja bawahan, dan visi. Yang menjadi pokok penelaahan di sini adalah seberapa jauh atasan memiliki keempat faktor tadi.
Hal ketiga yang tak boleh dilewatkan adalah penelaahan sistem balas jasa. Sudahkah bawahan memperoleh imbalan yang sesuai dengan kinerja yang telah ia tunjukkan pada masa-masa yang silam? Sudahkah bawahan memperoleh imbalan dengan besaran yang mencukupi? Terkait dengan penelaahan sistem balas jasa adalah penelaahan sistem penilaian kinerja. Sistem yang efektif adalah sistem yang mampu mencerminkan kinerja bawahan yang sesungguhnya. Atasan akan mempersepsikan kinerja bawahannya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal apabila ia menemukan tingkat consensus yang rendah (bawahan tersebut memiliki kinerja yang berbeda (lebih buruk) dari kinerja rekan-rekan kerjanya yang memiliki tugas dan tanggung jawab sejenis), tingkat distinctiveness yang rendah (kinerja bawahan tersebut dapat dikatakan serupa antara satu tugas dengan tugas yang lain), dan tingkat consistency yang rendah (kinerja bawahan tersebut praktis tidak berbeda jauh untuk setiap periode).
Menghadapi kuatnya pengaruh faktor-faktor internal, maka tidak jalan lain bagi atasan kecuali memfokuskan diri pada perbaikan kemampuan kerja bawahan. Upaya ini perlu diawali dengan kajian mendalam terhadap kemampuan aktual (apa yang ia tunjukkan dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari) dan kemampuan potensial (apa yang sesungguhnya bisa ia lakukan). Kalau ternyata terdapat perbedaan diantara keduanya, maka atasan perlu mengikutsertakan bawahan pada pelatihan pendayagunaan kemampuan potensial termasuk diantaranya apa yang disebut sebagai achievement motivational training, yaitu suatu pelatihan untuk memotivasi seseorang guna menggapai tujuan setinggi mungkin dengan menggunakan segenap kemampuan yang dimiliki.
Apabila antara kemampuan aktual dan kemampuan potensial terdapat kemiripan, maka atasan perlu mengikutsertakan bawahan dalam berbagai kegiatan pelatihan untuk mengembangkan kemampuan kerjanya, baik kemampuan teknis maupun manajerial. Sedapat mungkin diupayakan agar kemampuan kerja yang dikembangkan tidak hanya untuk menjalankan tugas-tugasnya saat ini melainkan juga untuk mengemban tugas-tugasnya di masa mendatang. Sebagai penutup, ada sebuah pepatah mengatakan, "You cannot seek for the ideal outside the realm of reality" (Leon Blum, 1872-1949). Artinya, atasan harus menyadari bahwa perbaikan kinerja tidak bisa dilakukan dalam sekejap; perlu pentahapan dan barangkali juga penyesuaian untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi. (nba)