Kamis, Februari 19, 2009

PENYEBAB KEMUJURAN DAN KESIALAN


Dari sebuah hadist yang berbunyi “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda :”tiga perkara yang menyelamatkan :Takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun terbuka, mengatakan yang benar saat suka maupun marah dan irit saat lapang mapun sempit, adapun tiga perkara yang mencelakakan : hawa nafsu yang dikktui, kikir yang ditaati dan ujub seseorang kepada diri sendiri, dan ini yang paling berat (HR Baihaqi)

Kebaikan dan keburukan, untung dan sial akan selalu bergulir sepanjang hidup manusia, Rasulullah saw menjelaskan perkara yang dapat mendatangkan keuntungan, sebagaimana beliau menjelaskan hadist ini hal-hal yang dapat mencelakakan pelakunya dalam kebinasaan.

Adapun yang mendatangkan keuntungan

pertama adalah

takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun dilihat orang. Takut ini berawal dari rasa malu berbuat dosa dan pengetahuan seseorang bahwa Allah selalau mengawasi semua perilaku manusia lahir maupun bathin. Abu Dzar berkata, “Rasulullah saw suatu ketika membaca ayat, “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah maka Dia akan memberikan baginya jalan keluar”, lalu Beliau bersabda “Wahai Abu Dzar, bila seluruh manusia mengambil (mengamalkan) ayat ini, maka cukuplah bagi mereka”.
Diantara doa yang beliau saw baca adalah “Ya Allah, aku mohon kepadaMu rasa takut kepadaMu dalam keadaan sepi dan disaksikan orang” (Jamiulum walhikam)
Kedua, berkata benar saat suka maupun marah. Maksudnya, berlaku adil dalam setiap kondisi. Almunawi dalam Faidlul Qodir berkata, “Jiwa seorang mukmin yang sempurna selalu merasa tenang dangan kejujuran, karena di dalamnya ada keselamatan dan tidak nyaman serta ragu untuk berbuat dusta. Keraguanmu pada suatu hal adalah sebuah sinyal adanya posisi yang benar, maka majulah”.
Imam Qurtubi berkata, “Adil adalah timbangan Allah di muka bumi, dengannya hak orang yang teraniaya diambilkan dari orang yang berbuat dholim, dan untuk yang lemah dari yang kuat.
Ketiga, hemat saat longgar maupun sempit. Ekonomis dalam membelanjakan harta dalam semua kondisi. Allah Berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’ 26-27).
Ibnu ‘Asyur berkata, “Menafkahkan harta dalam kebatilan adalah tabdzir meskipun sedikit, dalam perkara mubah dikatakan tabdzir bila melampaui batasm dan tidakada istilah tabdzir dalam urusan amal kebaikan (at tahrir wattanwir)
Demikianlah tiga perkara yang menyelamatkan, sekarang akan diperlihatkan tiga hal yang mencelakakan dan mendatangkan kesialan :
Pertama, hawa nafsu yang diikuti, sebagaimana firman Allah, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nagsunya sebagai tuhan”. (QS Al Furqon 43). Hawa nafsu dijadikan sebagai komandannya, dimana ia tidak berbuat dan memilih kecuali dengan nafsunya, jadilah nafsu sebagai Tuhan. Qatadah berkata tentang maksud ayat tersebut, yakni orang yang bila ingin sesuatu ia turuti, bila ia berselera pada satu hal ia lakukan, tiada ketakwaan dan waro’ yang menghalanginya.
Nabi saw mensifati cirri orang yang cerdas dengan sabdanya, “Orang yang kayyis (cerdas) adalah orang yang menguasai nafsunya dan selalu beramal untuk (persiapan) sesudah mati”. (HR Ahmad, Timidzi dan Ibnu Majah)
Kedua, (mental) kikir yand ditaati. ”Syuhh” dalam bahasa arab serarti bakhil terhadap harta, juga kadang berarti sifat tamak seseorang untuk memperoleh haknya secara penuh, dan jarang mau bertoleransi. Ibnu Atsir berkata, “Kikir yang ditaati yakni : ditaati oleh pemiliknya, hingga ia menolak untuk melaksanakan kewajiban Allah dan urusan materi”.
Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menfakahkan sebagian harta yang kamu cointai.” (QS Ali Imran 92). Ibnu ‘Asyur menafsirkannya, “Menafkahkan sebagian harta adalah tanda sifat pemurah lillah, dengan itulah jiwa disucikan dari sifat kikir. Sebagaimana firman Allah yang lain, “Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS Al-Hasyr 9). Ketiga, Ujub pada diri sendiri. Ujub kata imam Qurthubi, menilai diri sendiri denga kesempurnaan dan sanjungan, dengan melupakan nikmat Allah yang diberikan, bila disertai mengejek yang lain disebut “kibir”.
Termasuk dalam hal ini adalah sombong diri karena merasa tidak pernah berdosa, senantiasa bersih, atau ujub dengan ibadah yang telah dilakukan. Mathraf berkata, “Sungguh bila aku bangun tidur semalam dan dipaginya aku menyesal, itu lebih baik dari pada bila aku bangun shalat malam dan paginya aku merasa ujub”. Na’udzubillahimindzalik. Wallau’alam…
Artikel oleh Ust. Yunan Abduh, Lc disarikan ulang oleh Habib ns

0 komentar: